Bunuh diri bukanlah sesuatu yang aneh di Jepang. Tindakan menghabisi
nyawa sendirii bahkan pernah berkembang dengan ritual-ritual tertentu
dan menjadi tradisi yang dijunjung tinggi. Bunuh diri dilakukan terkait
dengan berbagai alasan seperti rasa malu, atau rasa tanggung jawab pada
pekerjaan atau tugas. Bila seseorang merasa sangat bersalah atau
menyusahkan orang lain, maka mereka akan sangat mudah melakukan bunuh
diri.
Bunuh diri ritual pada zaman dahulu dilakukan dengan mengeluarkan isi
perut sendiri. Bunuh diri ritual kaum samurai ini disebut sebagai
harakiri. Namun di dunia luar harakiri lebih dikenal dengan sebutan
seppuku. Kenapa perut menjadi pilihan? Kenapa bukan bagian tubuh yang
lain? Orang Jepang dahulu berpandangan perut merupakan tempat
bersemayamnya nyawa. Perut adalah pusat fisik dari tubuh, dan mereka
beranggapan perut merupakan sasaran untuk menyatakan kehendak pemikiran,
kemurahan hati, keberanian, semangat, kemarahan, tindak permusuhan adan
lain-lain.
Pelaksanaan harakiri tidak boleh sembarangan. Berbagai hal telah diatur
misalnya tempat, waktu, saksi-saksi, pengawas dan pembantu. Bila
semuanya telah siap maka seorang yang akan melakukan harakiri akan
membuka kimononya dan tanpa ragu mencabut pisaunya dan segera merobek
perutnya dari kiri ke kanan. Setelah si pelaku harakiri sekarat, maka ia
akan memberi isyarat kepada pembantu (seperti algojo) untuh menebas
lehernya. Namun, tebasan algojo tadi tidak sampai memutuskan leher si
pelaku harakiri. Ini dimaksudkan agar kepala tersebut tidak jatuh
menggelinding.
Kita mungkin bisa bergidik membayangkan betapa ironis dan sadisnya para
samurai yang mengeluarkan isi perutnya dan memotong ususnya tanpa ragu
sebelum algojo menebas batang lehernya. Tetapi itulah cara terhormat
mati bagi seorang samurai seperti diajarkan dalam prinsip bushido, kode
moral kaum samurai. Ini mereka lakukan atas kesetiaan tertinggi kepada
atasannya.
Tapi apakah hanya faktor-faktor yang menyangkut harga diri, rasa malu, rasa bersalah dan ikut merasa bersalah yang membuat orang Jepang begitu mudah melakukan bunuh diri? Ternyata tidak!!
Penyebab lain adalah tidak adanya beban psikologis seperti rasa berdosa bagi mereka akan tindakan bunuh diri tersebut. Masyarakat Jepang tidak mempunyai konsep dosa dan hanya berdasar pada etika bermasyarakat saja.
Dalam hidup bersosial, apabila mereka melakukan kesalahan. Maka, kesalahan tersebut murni kesalahan pada manusia, tidak kepada tuhan. Tanggung jawab orang Jepang adalah tanggung jawab kepada sesama manusia. Oleh karena itu, orang Jepang nyaris tanpa beban bila bunuh diri. Tidak ada konsep ketuhanan dalam masyarakat Jepang pada umumnya.
Tapi apakah hanya faktor-faktor yang menyangkut harga diri, rasa malu, rasa bersalah dan ikut merasa bersalah yang membuat orang Jepang begitu mudah melakukan bunuh diri? Ternyata tidak!!
Penyebab lain adalah tidak adanya beban psikologis seperti rasa berdosa bagi mereka akan tindakan bunuh diri tersebut. Masyarakat Jepang tidak mempunyai konsep dosa dan hanya berdasar pada etika bermasyarakat saja.
Dalam hidup bersosial, apabila mereka melakukan kesalahan. Maka, kesalahan tersebut murni kesalahan pada manusia, tidak kepada tuhan. Tanggung jawab orang Jepang adalah tanggung jawab kepada sesama manusia. Oleh karena itu, orang Jepang nyaris tanpa beban bila bunuh diri. Tidak ada konsep ketuhanan dalam masyarakat Jepang pada umumnya.
Bunuh diri di Jepang pada awalnya berkembang sebagai tradisi untuk
memupuk jiwa patriotik, setia pada atasan (kelompok), jujur dan
bertanggung jawab pada tugas serta berani berkorban. Hilangnya
nilai-nilai bushido akibat kekalahan tentara jepang pada Perang Dunia II
membuat tradisi ini bergeser hingga bentuknya menjadi sekarang ini.
Di pelajaran sejarah dunia, kita mungkin pernah mendapatkan pelajaran
tentang PD II yang di dalamnya menceritakan tentang bagaimana perjuangan
tentara Jepang dalam mempertahankan diri, bahkan memperoleh kemenangan
dalam perang. Mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang
membahayakan atau bahkan membumihanguskan diri sendiri seperti halnya
menabrakkan pesawat tempur mereka ke pesawat tempur asing. Ini disebut
dengan kamikaze. Dan menabrakkan kapal selam mereka ke kapal selam asing
yang disebut dengan raiden. Mereka menganggap ini bukanlah penghancuran
diri, melainkan penghancuran musuh. Sampai seperti itu mereka
mempertahankan kehormatan negara, bahkan sampai rela bertukar nyawa,
asalkan musuh mereka juga mati.
Kalau di masa lalu tradisi ini adalah bagian yang tak terpisahan dari
kehidupan samurai, maka sekarang adalah bagian dari kehidupan bagi
mereka yang bertarung di dunia ekonomi, politik, dan keuangan. Bagian
kehidupan dari mereka yang bersaing keras mencapai kemakmuran dan
kesuksesan.
Hal ini bisa dimengerti mengapa tradisi ini tetap bertahan dalam bentuk lain karena tidak adanya konsep ketuhanan dan dosa. Ini sangat berseberangan dengan apa yang dianut oleh orang Indonesia yang menganut agama samawi dengan tuhan sebagai suatu kemutlakan, dan adanya pertanggungjawaban kepada tuhan kemudian nanti (kehidupan di akherat).
Hal ini bisa dimengerti mengapa tradisi ini tetap bertahan dalam bentuk lain karena tidak adanya konsep ketuhanan dan dosa. Ini sangat berseberangan dengan apa yang dianut oleh orang Indonesia yang menganut agama samawi dengan tuhan sebagai suatu kemutlakan, dan adanya pertanggungjawaban kepada tuhan kemudian nanti (kehidupan di akherat).
Masyarakat Jepang memang menyimpan banyak teka-teki dalam kehidupannya
dan bunuh diri di Jepang mempunyai nilai filosofi yang tinggi jika
dirunntut dari budaya Jepang masa lalu.
Semoga kita bisa memilah-milah sisi yang baik dari Jepang dan masyarakat yang ada di dalamnya sebagi teladan sosial dalam kehidupan kita…
Semoga kita bisa memilah-milah sisi yang baik dari Jepang dan masyarakat yang ada di dalamnya sebagi teladan sosial dalam kehidupan kita…
Post a Comment